Asalnya kami tidak saling mengenal, tapi nggak tahu asal mulanya....ujug-ujug kami akrab dan menjadi dekat.....mungkin karena merasa sebagai sesama perantau, sesama dari habitat yg sama (the java of ngafuck) meski kami berbeda-beda profesi, dari penjual gonjing, puthu, gorengan, sampai jajanan daging mentah neng tempat remeng-remeng.
Seperti biasa kami hanya sekedar CIPOK (moci karo ndopok) ngalor ngidul tentang nasib masing-masing, tentang semakin beratnya tantangan hidup diperantauan, tentang nasib sedulur di kampung, tentang masa depan dan masa lalu yang kadang terlalu pahit untuk di kenang, satu yang bisa di tarik benang merah dari cerita mereka semua adalah tentang semakin susahnya mencari minyak tanah untuk kelangsungan usaha mereka semua.
Penjual putu misalnya yang harus senantiasa menjaga agar air yg di dalam kalengnya selalu dalam kondisi panas, penjual gonjing yang cetakannya harus dalam keadaan panas, penjual bubur kacang ijo yang harus selalu menjaga agar buburnya selalu dalam kondisi hangat.....untuk mendapatkan kondisi hangat dan panas itu mereka membutuhkan kondisi api yg kecil yang hanya bisa di dapat dari kompor minyak tanah. Sementara sekarang ini setelah konversi gas diberlakukan...hal itu tidak bisa mereka lakukan untuk menjaga kondisi api tetep kiyep-kiyep.
Kami hanya berharap,, biarpun harganya tinggi...tapi minyak tanah tetep ada....
Harapan....yang mungkin Cuma pepesan kosong...karena kami semua hanya dari kalangan orang-orang kecil, orang dari kasta-kasta paling rendah....bukan pejabat maupun pembuat keputusan. Kami hanya berdoa semoga Tuhan membisikan harapan kami di hati para penggede.
0 comments:
Posting Komentar