Selasa, 19 Oktober 2010

Episode Kerinduan


SARTONO pemuda lulusan pesantren itu masih termenung di pusara Bapaknya. Kepergian Bapaknya tiga bulan yang lalu telah menguras banyak air mata. Sampai saat inipun dia masih belum bisa banyak berucap seperti waktu Bapaknya masih hidup. Kesedihan yang sangat mendalam telah mengunci segala keriangan dan kesenangannya terhadap sesuatu. Dia merasa bahwa selama ini waktunya telah dihabiskan tanpa banyak berkumpul dengan Bapak-nya. Meninggalkan Bapaknya dalam kesendirian di sebuah rumah yang telah ditinggalkan anak satu-satunya.

Menjelang Maghrib, SARTONO bangkit dan diusapnya pusara sang Bapak, dengan langkah gontai perlahan-lahan dia meninggalkan makam yang gundukannya sudah mulai memudar. Kain sarungnya dibiarkan dilekati tanah kuburan yang melekat seperti lem sejak bada’ ashar tadi. Areal pekuburan senja itu memang sepi, sebab hari itu bukan Jum’at Kliwon yang sering ramai dikunjungi para peziarah. Hanya gemerisik daun-daun pohon kamboja yang diterpa angin dan suara geluduk mendung yang memayungi yang semakin menempatkan sepi yang teramat sangat di hati SARTONO.

Iqomat telah selesai, tiba-tiba kedua lengan SARTONO ada yang mengangkat untuk segera berdiri. SARTONO perlahan tersadar, dari sudut matanya yang berkaca-kaca dilihatnya Pak KYAI IKSAN menyuruhnya untuk menjadi imam sholat maghrib. Dengan gontai SARTONO melangkah ke mighrab. Sejenak menoleh ke belakang dilihatnya kaki-kai shof jama’ah. Tabirotul ikhrom-nya begitu lirih, Alfatehahnya dan suratnya juga lirih tenggelam dalam sesenggukan isak tangisnya.

Interval maghrib dan isya SARTONO tidak juga bangkit dari muhola. KYAI IKSAN yang sudah sepuh hanya memandangi penuh keheranan. Ditepuknya bahu SARTONO.

“Nak, begitu dalamkah kesedihan mu?”

SARTONO memandang wajah KYAI IKSAN yang teduh itu tanpa mengeluarkan kata-kata sedikitpun. Selanjutnya KYAI IKSAN duduk dihadapan SARTONO, mereka kemudian duduk berhadap-hadapan. Dengan lirih KYAI IKSAN berkata :

“Kehidupan adalah bukan milik manusia, tugas kita hanya untuk menerima dan mengelola”

SARTONO masih terdiam dia menundukkan matanya dari sejenak memandang wajah kyainya itu. Selanjutnya KYAI IKSAN melanjutkan kata-katanya:

“Pernahkan kita meminta untuk dilahirkan…lalu besar...dewasa dan tua..lalu mengapa kematian harus ditangisi sebegitu rupa,

sampai kau lupa tangismu yang disholat itu bukan untuk mengingat salah dan kematianmu kelak…tapi keegoisanmu tidak mau

menerima kematian…”

SARTONO tersentak, ditatapnya kembali wajah KYAI IKSAN. Matanya berkaca-kaca. Bibirnya bergetar.

“Ta ta ta pi…saya ingin melihat Bapak sampai setua Pak Kyai…sa sa sa ya masih rindu Kyai untuk terus bersamanya. Saya ingin

bahu membahu dengan Bapak untuk membagun dakwah. Dan saya ingin menikmati masa tua Bapak dengan saya yang

memeliharanya Pak Kyai.

KYAI IKSAN bangkit, Wajah SARTONO mengikuti gerak badan KYAI IKSAN yang berdiri dan kemudian melangkah.

“NAK, hidup adalah ukuran. Kita ada ditengah-tengah ukuran dan maqom kita. Ukuran adalah skenario yang harus kita jalani dan

maqom adalah bekal kita untuk menjalani scenario itu. Perpisahan dan kematian adalah bagian dari skenario. Maqom-mu yang

sudah terlatih dengan banyak membaca Qur’an dan Khadist di pesantren sudah barang tentu kuat untuk menghadapi semua itu.

Lakukanlah apa yang dipesan oleh nabi perbanyaklah do’a buat Bapakmu, Madrasah yang telah beliau bikin kelolalah dengan

baik. Itu sudah cukup untuk membasuh kerinduanmu terhadap Bapakmu.

SARTONO yang berdiri dibelakang KYAI IKSAN tersadar. Kakinya dilangkahkan tangannya dijulurkan meraih tangan KYAI IKSAN. Di ciumnya tangan Kyai kharismatik tersebut. Bibirnya bergetar, air matanya membasahai tangan Sang Kyai.

“Benar Pak Kyai,..saya lupa..saya malah telah membebani BAPAK saya dengan kerinduan saya yang jahiliyah ini…MASYA

ALLAH….ASTAGHFIRULLOH HALADZIM…”

Dipeluknya badan SARTONO oleh KYAI IKSAN…seiring jam dinding di MUSHOLA yang telah menunjukan waktu ISYA.

Jakarta 19 Oktober 2010

By

M. Husni Iskandar





Bagikan
Top Blogs

0 comments:

Posting Komentar

 

cerita dari pulau Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template